APH : Ultimum Remedium, Tidak ada Pidana Sawit dalam Kawasan Hutan

Senin, 19 Juli 2021

Sekjend DPP APKASINDO, Rino Afrino, ST.,MM

Jakarta - Polemik dan kebuntuan permasalahan sawit dalam kawasan hutan sudah bersolusi dan dituangkan dalam UUCK dan turunannya.  Hal ini disampaikan narasumber yang ada pada helat “Sosialisasi Regulasi UUCK beserta turunannya & Pencegahan Karhutla” yang ditaja oleh Dewan Pimpinan Wilayah Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPW-Apkasindo) Riau dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Riau, 12 Juli 2021 yang lalu.

Acara tersebut dibuka langsung oleh Kiai T Rusli Ahmad, SE. Acara ini sangat menarik dan informatif, karena semua Narasumber  sama-sama menyodorkan pemahaman yang sama bahwa pola penyelesaian kebun kelapa sawit dalam klaim kawasan hutan yang sudah tumbuh sebelum November 2020, diselesaikan dengan cara pengenaan sanksi administratif (ultimum remedium), bukan pidana. Tak terkecuali di Riau sebagai bagian dari NKRI. 

Adalah Kadis Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Riau, Dr Mamud Murod, Kepala Balai Pemanfaatan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XIX, Sofyan, S.Hut.,M.Sc yang terang-terangan mengatakan seperti itu. Kebetulan aturan main soal sanksi administratif itu sudah ada dan tegas di Pasal 110B UUCK. 

Waktu didapuk memberi paparan, Murod msnguraikan “Solusi sawit dalam kawasan hutan ini sudah rinci diatur dalam turunan UUCK, sanksinya juga Ultimum Remedium,” alias tidak ada Pidana, katanya. 

Intinya kata Sofyan, kalau kebun sawit yang ada di dalam klaim kawasan hutan produksi, baik itu di HPT, HP maupun HPK sudah punya izin; Izin Lokasi, Izin Usaha Perkebunan (IUP), atau Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), sesuai Pasal 110A, pekebun dikasi waktu tiga tahun sejak UUCK terbit (Nov 2020) untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan. 

Kalau persyaratan sudah terpenuhi dan lolos verifikasi, maka pekebun akan dapat persetujuan pelepasan kawasan hutan. Tapi kalau di Hutan Lindung atau Hutan Konservasi, pekebun cuma bisa melanjutkan usahanya itu selama 15 tahun, ujar Sofyan. 

Lantas, bagi pekebun yang sudah menjalankan usahanya sebelum tahun 2018, pola penyelesaiannya tetap memakai pasal 110A. Soalnya aturan teknis STDB baru ada pada 2018. 

“Kalau kebun sawitnya ada setelah tahun 2018 dan sebelum November 2020, maka pekebun wajib membayar denda administrative dan kemudian diberikan persetujuan penggunaan kawasan hutan selama 25 tahun sejak masa tanam,” terang Sofyan. 

Satu lagi yang juga sangat penting adalah soal tumpang tindih kebun sawit dengan izin perusahaan. Kalau izin lebih dulu dari pekebun, maka perusahaan akan merangkul pekebun untuk menjadi mitra. Namun jika sebaliknya, maka luas izin perusahaan dikurangi, jadi semuanya sudah bersolusi dan semua harus memahaminya, tanpa kecuali. 

“Bagi masyarakat yang bertempat tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 tahun secara terus menerus dan mengelola kebun sawit paling banyak 5 hektar, mereka dibebaskan dari sanksi administratif,” ini juga harus kita pahami, katanya. 

Kapolda Riau, yang diwakili oleh Kabidkum Polda Riau, Kombes Pol Dr Endang Usman, MH yang juga menjadi narasumber mengatakan bahwa Polda Riau akan segera melakukan sosialisasi ultimum remidium kepada semua jajarannya, hingga ke Polres. 

“Biar tercipta satu pemahaman yang selaras dan berdasarkan regulasi yang sudah di undangkan” katanya. 

Dzakiyul Fikri, SH., MH, Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara yang menjadi pembicara mewakili Kajati Riau, Dr Jaja Subagja, SH.,MH, sepakat untuk mengedepankan pendekatan persuasif, non ligitasi dalam penyelesaian persoalan kawasan hutan itu. 

Bagi anggota Dewan Pakar DPP Apkasindo, Samuel Hutasoit, SH.,MH, C.L.A, semua pernyataan para narasumber itu sangat realistis dan mengayomi, petani sawit sangat mengapresiasi, karena para pekebun yang tidak punya STDB tetap dikasi kesempatan menyelesaikan persoalan klaim kawasan hutan lewat mekanisme Pasal 110A, itu clear. 

“Mudah-mudahan para pekebun yang tak punya STDB paham dan bisa menyelesaikan permasalahan klaim Kawasan hutan tanpa perlu membayar denda administratif seperti yang diatur dalam pasal 110A itu,” katanya. 

Samuel kemudian meminta supaya semua petani sawit yang ada di 22 DPW Provinsi perwakilan DPP Apkasindo untuk segera mengambil kesempatan ini. “Ukur dan petakan kebun sawit yang ada di klaim kawasan hutan itu, lalu hubungi tim percepatan paduserasi implementasi UUCK DPP Apkasindo, waktu kita sangat sempit, hanya 3 tahun” pintanya. 

Sekjend DPP APKASINDO, Rino Afrino, ST.,MM, ketika dihubungi (18/07) mengapresiasi atas penjelasan semua narasumber pada acara tersebut, terkhusus kepada rekan-rekan media yang sudah membantu menginformasikan kepada masyarakat tentang UU Cipta Kerja dan turunannya terkhusus terkait penyelesaian keterlanjuran sawit yang diklaim dalam kawasan hutan. Semua ingin ada kepastian hukum, baik itu Pekebun maupun Korporasi, dan ini adalah solusinya, ujar Rino. (Nzr)